Rabu, 16 Maret 2016
Sabtu, 19 April 2014
Pengertian Dan Tata Cara Wawancara
A.
Pengertian Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab antara dua pihak yaitu pewawancara dan narasumber untuk
memperoleh data, keterangan atau pendapat tentang suatu hal.
·
Pewawancara
adalah orang yang mengajukan pertanyaan
· Narasumber
adalah orang yang memberikan jawaban atau pendapat atas pertanyaan pewawancara.
Narasumber juga biasa disebut dengan informan.
· Orang
yang bisa dijadikan sebagai narasumber adalah orang yang ahli di bidang yang
berkaitan dengan imformasi yang kita cari.
B.
Jenis-jenis wawancara
1.
Wawancara serta merta
Wawancara serta merta adalah wawancara
yang dilakkan dalam situasi yang alamiah. Prosesnya terjadi seperti obrolan
biasa tampa pertanyaan panduan.
2.
Wawancara dengan petunjuk umum
Wawancara dengan petunjuk umum adalah
wawancara dengan berpedoman pada pokok-pokok atau kerangka permasalahan yang
sudah dibuat terlebih dahulu.
3. Wawancara berdasarkan pertanyaan yang
sudah dibakukan.
Dalam hal ini pewawancara mengajukan
pertanyaan berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah disiapkan atau dibakukan.
C.
Tahap Tahap Wawancara
v Tahap Persiapan
a) Menentukan maksud atau tujuan wawancara
(topik wawancara).
b) Menentukan informasi yang akan di
kumpulkan atau didata.
c) Menentukan dan menghubungi nara sumber.
d) Menyusun daftar pertanyaan.
e) Menentukan dan menghubungi narasumber
v Tahap Pelaksanaan
a) Mengucap salam
b) Memperkenalkan diri.
c) Mengutarakan maksud dan tujuan wawancara.
d) Menyampaikan pertanyaan dengan teratur.
e) Mencatat dan merekam pokok-pokok
wawancara.
f) Mengahiri dengan salam dan meminta
kesediaan narasumber untuk dapat dihubungi kembali jika ada yang perlu
dikomfirmasi atau dilengkapi.
v Tahap Penyusunan Hasil Wawancara. laporan
wawancara terdiri dari bagian bagian sebagai berikut.
a) Tema atau topik wawancara.
b) Tujuan atau maksud dari wawancara.
c) Identitas narasumber.
d) Ringkasan isi wawancara.Isi wawancara
dapat ditulis dalam bentuk dialog atau dalam bentuk narasi.
v Beberapa Hal Yang Harus Dihindari Ketika
Proses Wawancara Berlangsung.
a) Menyampaikan pertanyaan yang sudah umum
atau pasti jawabannya.
b) Menanyakan pertanyaan yang inti jawabannya
sama dengan pertanyaan sebelumnya.
c) Meminta narasumber untuk mengulang-ulang
jawabannya.
d) Memotong pembicaraan narasumber.
v Contoh Laporan Hasil Wawancara
Pewawancara: "Selamat siang Pak!
Apakah kita bisa memulai wawancaranya sekarang?"
Narasumber (kepsek): "Oh, ya.
Silahkan!"
Pewawancara: "Jadi, untuk Bapak
maklumi, tujuan wawancara ini adalah untuk mengetahui kesiapan dari para siswa
maupun guru dalam pelaksanaan ujian kali ini"
Narasumber: "Silahkan teruskan"
Pewawancara: "Sejauh ini, apa saja
yang sudah dipersiapkan untuk menyambut ujian yang sebentar lagi akan
dilaksanakan?"
Narasumber: "Persiapan yang kami
lakukan adalah memberikan les-les tambahan atau pengayaan dan mengurangi bahkan
menghentikan beberapa kegiatan ekstrakulikuler untuk sementara."
Pewawancara: "Menurut pantauan Bapak,
bagaimana tentang kesiapan dari siswa?"
Narasumber: "Saya rasa para siswa
sudah cukup siap."
Pewawancara: "Baiklah Pak! Saya rasa
imformasi yang saya butuhkan sudah cukup. Terimakasih atas waktu dan kesediaan
Bapak. Selamat siang."
Narasumber: "Sama-sama. Selamat
siang."
v Contoh Laporan Wawancara.
Tema: Persiapan ukian.
Tujuan: Mengetahui kesiapan para guru dan
siswa dalam pelaksanaan ujian.
Narasumber: Kepala sekolah.
Waktu: 25 Mei 2012.
Tempat: Ruang kepala sekolah.
Siang itu Kepala Sekolah sudah menunggu
saat saya tiba di ruangannya. Saya pun langsung memulai wawancara.
Dalam wawancara itu, saya menanyakan
tentang kesiapan para guru dan siswa dalam menyambut ujian. Menurut Kepala
Sekolah, para siswa cukup siap dalam menyambut ujian. Kepala Sekolah juga
menyatakan bahwa beliau mengurangi bahkan menghentikan beberapa kegiatan
ekstrakurikuler agar para siswa dapt mengikuti les dan pengayaan dengan
maksimal.
Kamis, 17 April 2014
MAKALAH PERS
MAKALAH PERS
BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan klasik yang dikemukakan de
Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah
bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai The St. George, sementara
pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik yang ada hal ini lebih
dikenal dengan istilah relationship of government and the media. Jargon ini
berasal dari Amerika Serikat karena disana keadaan semacam ini sesungguhnya hanya
terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah memang
demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan sesuatu
yang bersumber berasal dari pemerintah. Di Amerika Serikat pers begitu bebas
untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan yang besar untuk mencari dan
menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran pers berbeda dengan
negara otoriter. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers berfungsi
sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga lawan. Hubungan
antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers disana.
Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers. Kebebasan ini
secara implisit disebutkan dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika Serikat,
bahwa media massa diharapkan memperoleh akses atas government records.
BAB II
Pembahasan
·
Kebebasan
Pers di Indonesia
Betulkan
kebebasan pers di Indonesia mengalami kemajuan atau malah kemunduran dalam arti
seluas luasnya? Betulkan para jurnalis terutama pelaku industri media tidak
bias memaknai perbedaan antara freedom of the press dengan free of press?
Lalu
dimana letak kesamaan dan perbedaan kebebasan pers yang ada di Indonesia saat
ini dengan di Amerika Serikat? Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang
dan memiliki budaya normative (ketimuran/melayu) yang masih dipegang kuat oleh
sebagian besar masyarakat. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pemerhati
pers, akademisi, birokrat ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya dalam
melihat perkembangan pers tanah air pasca orde baru.
Di kalangan pekerja pers
sendiri juga belum ada satu konsensus tentang wujud kebebasan pers yang cocok
dengan ciri khas ke Indonesiaan. Apakah harus mengikuti gaya barat? Atau
paradoks seperti sekarang ini. Bila merujuk de Sola Pool (1972) bahwa hubungan
wartawan dengan para politisi seperti halnya yang terjadi Amerika Serikat,
menurut penulis juga dialami dalam tubuh pers Indonesia sekarang terutama sejak
bergulir reformasi.
Namun tidak pada jaman orde baru. Dalam era reformasi, pers
nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai
pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini
benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial.
Dulu wartawan Indonesia
dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak
lagi karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 'tentang Pers' telah mengamankan
kebebasan mutlak. Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai
pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu
sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk
mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat.
Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal
1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional,
bertanggung jawab dan menjaga independensinya.
Pers memiliki beban moril,
menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja
jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat
bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab
secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan,
menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik
dan mengawasi segala bentuk ketimpangan.
Pers selayaknya menjaga kebebasannya
dengan tidak bertindak kebablasan. Angin segar kebebasan pers, mengantarkan
penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk
memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh
terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang
mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang
tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif
yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan
politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak.
Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal. Bebasnya
pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan
kekuasaannya.
Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja,
termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia
umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan
sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan
pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan
politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan
musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan
cenderung tidak beretika. Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa
disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan
legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers,
kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan
idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat.
Pers idealis perlu membuat
patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai
perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta,
mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak
bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat. Secara umum,
Daniel Dhakidae, melalui desertasinya di Cornell University tentang The State,
The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesia
News Industry, menjelaskan pengaruh struktur
Fungsi dan Peranan pers
Fungsi dan Peranan
pers
Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU
No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan
bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
memenuhi hak masyarakat untukmengetahui menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia,serta
menghormati kebhinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang
tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan,kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum memperjuangkan keadilan dan kebenaran berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokras i( thefourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif.
Fungsi peranan pers itu barudapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminanke bebasan pers
dari pemerintah. Menurut tokoh pers, jakob oetama , kebebsan pers menjadi
syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan pernannya. Sulit
dibayangkan bagaiman peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap kebebasan pers. Pemerintah orde baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahn
yang sangat membatasi kebebasan pers. Hal ini terlihat, dengan keluarnya
Peraturna Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izn Usaha penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam praktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan.
Albert
Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat
baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka.Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah,pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang menurutnya tidakberes dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih sukamemberitakan hal-hal yang slah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman. Karena kenyataannya, pers sekarang
juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Empat Teori Pers
Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah perbedaan filsafat.
Teori Pers Otoritarian
Muncul
pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya
mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil
dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang –orang bijak yang
berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi
kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan
demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan
pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa
yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta,
dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung
kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian
merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana
pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan.
Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah
kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep
pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan
pemerintahan. Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun
telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh
sebagian besar Negara komunis.
Teori Pers Libertarian
Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap
oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang
mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang
lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang
bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap
sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak
asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah
alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan
bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap
kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan
pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat
kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran
dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus
dapat menggunakan pers.
Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima
teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan.
Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan
sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis.
Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori
Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung
didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati
kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab
kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa
dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu
landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat
memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya,
maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi
massa.
Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi
pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan
tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat
dapat mengatur dirinya sendiri.
3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga
yang mengawasi pemerintah.
4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau
jasa melalui medium periklanan,
5. Menyediakan hiburan
6. mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari
tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori Soviet, kekuasaan itu
bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan
dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat.
Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a)
jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi ,
dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan
organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi
pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa
dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang
merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang
termobilisir.
Partai mengganggap dirinya sebagai
suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi
massa. Negara Soviet bergerak dengan
program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan
adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media.
Komunikasi massa digunakan secara
instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai.
Komunikasi massa secara erat
terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan
pengaruh partai.
Komunikasi massa digunakan untuk
instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai.
Komunikasi massa hampir secara ekslusif
digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi.
Komunikasi massa ini punya