MAKALAH PERS
BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan klasik yang dikemukakan de
Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah
bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai The St. George, sementara
pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik yang ada hal ini lebih
dikenal dengan istilah relationship of government and the media. Jargon ini
berasal dari Amerika Serikat karena disana keadaan semacam ini sesungguhnya hanya
terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah memang
demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan sesuatu
yang bersumber berasal dari pemerintah. Di Amerika Serikat pers begitu bebas
untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan yang besar untuk mencari dan
menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran pers berbeda dengan
negara otoriter. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers berfungsi
sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga lawan. Hubungan
antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers disana.
Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers. Kebebasan ini
secara implisit disebutkan dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika Serikat,
bahwa media massa diharapkan memperoleh akses atas government records.
BAB II
Pembahasan
·
Kebebasan
Pers di Indonesia
Betulkan
kebebasan pers di Indonesia mengalami kemajuan atau malah kemunduran dalam arti
seluas luasnya? Betulkan para jurnalis terutama pelaku industri media tidak
bias memaknai perbedaan antara freedom of the press dengan free of press?
Lalu
dimana letak kesamaan dan perbedaan kebebasan pers yang ada di Indonesia saat
ini dengan di Amerika Serikat? Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang
dan memiliki budaya normative (ketimuran/melayu) yang masih dipegang kuat oleh
sebagian besar masyarakat. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pemerhati
pers, akademisi, birokrat ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya dalam
melihat perkembangan pers tanah air pasca orde baru.
Di kalangan pekerja pers
sendiri juga belum ada satu konsensus tentang wujud kebebasan pers yang cocok
dengan ciri khas ke Indonesiaan. Apakah harus mengikuti gaya barat? Atau
paradoks seperti sekarang ini. Bila merujuk de Sola Pool (1972) bahwa hubungan
wartawan dengan para politisi seperti halnya yang terjadi Amerika Serikat,
menurut penulis juga dialami dalam tubuh pers Indonesia sekarang terutama sejak
bergulir reformasi.
Namun tidak pada jaman orde baru. Dalam era reformasi, pers
nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai
pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini
benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial.
Dulu wartawan Indonesia
dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak
lagi karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 'tentang Pers' telah mengamankan
kebebasan mutlak. Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai
pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu
sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk
mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat.
Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara
dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal
1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional,
bertanggung jawab dan menjaga independensinya.
Pers memiliki beban moril,
menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja
jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat
bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab
secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan,
menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik
dan mengawasi segala bentuk ketimpangan.
Pers selayaknya menjaga kebebasannya
dengan tidak bertindak kebablasan. Angin segar kebebasan pers, mengantarkan
penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk
memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh
terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang
mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang
tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif
yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan
politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak.
Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal. Bebasnya
pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan
kekuasaannya.
Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja,
termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia
umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan
sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan
pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan
politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan
musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan
cenderung tidak beretika. Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa
disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan
legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers,
kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan
idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat.
Pers idealis perlu membuat
patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai
perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta,
mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak
bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat. Secara umum,
Daniel Dhakidae, melalui desertasinya di Cornell University tentang The State,
The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesia
News Industry, menjelaskan pengaruh struktur
0 komentar:
Posting Komentar