Kamis, 17 April 2014

MAKALAH PERS


MAKALAH PERS
BAB I
PENDAHULUAN

Pandangan klasik yang dikemukakan de Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai The St. George, sementara pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik yang ada hal ini lebih dikenal dengan istilah relationship of government and the media. Jargon ini berasal dari Amerika Serikat karena disana keadaan semacam ini sesungguhnya hanya terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah memang demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan sesuatu yang bersumber berasal dari pemerintah. Di Amerika Serikat pers begitu bebas untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan yang besar untuk mencari dan menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran pers berbeda dengan negara otoriter. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers berfungsi sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga lawan. Hubungan antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers disana. Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers. Kebebasan ini secara implisit disebutkan dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika Serikat, bahwa media massa diharapkan memperoleh akses atas government records.
BAB II
Pembahasan
·      Kebebasan Pers di Indonesia

Betulkan kebebasan pers di Indonesia mengalami kemajuan atau malah kemunduran dalam arti seluas luasnya? Betulkan para jurnalis terutama pelaku industri media tidak bias memaknai perbedaan antara freedom of the press dengan free of press

Lalu dimana letak kesamaan dan perbedaan kebebasan pers yang ada di Indonesia saat ini dengan di Amerika Serikat? Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki budaya normative (ketimuran/melayu) yang masih dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakat. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pemerhati pers, akademisi, birokrat ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya dalam melihat perkembangan pers tanah air pasca orde baru. 

Di kalangan pekerja pers sendiri juga belum ada satu konsensus tentang wujud kebebasan pers yang cocok dengan ciri khas ke Indonesiaan. Apakah harus mengikuti gaya barat? Atau paradoks seperti sekarang ini. Bila merujuk de Sola Pool (1972) bahwa hubungan wartawan dengan para politisi seperti halnya yang terjadi Amerika Serikat, menurut penulis juga dialami dalam tubuh pers Indonesia sekarang terutama sejak bergulir reformasi. 

Namun tidak pada jaman orde baru. Dalam era reformasi, pers nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial.

Dulu wartawan Indonesia dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak lagi karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 'tentang Pers' telah mengamankan kebebasan mutlak. Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang Undang Pers Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan menjaga independensinya. 

Pers memiliki beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan, menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk ketimpangan. 

Pers selayaknya menjaga kebebasannya dengan tidak bertindak kebablasan. Angin segar kebebasan pers, mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak. Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal. Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan kekuasaannya.

Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika. Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat. 

Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat. Secara umum, Daniel Dhakidae, melalui desertasinya di Cornell University tentang The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesia News Industry, menjelaskan pengaruh struktur

0 komentar:

Posting Komentar